(sebuah kado terbaik di ulthku ditahun kmrn dari seorang sahabat.... syukron Faiz)
Danau Para Sufi
” Ayah akan bercerita. Maukah kau mendengarnya ? Ayah janji ini cerita terakhir “
Aku mengangguk
Ayah menarik napas dalam-dalam, memperbaiki posisi baringnya. ” Kau
pasti selalu bertanya-tanya, apakah ibu kau bahagia ? Ayah akan
ceritakan apakah ibu kau sesungguhnya bahagia atau tidak.
” Dalam salah satu perjalanan jauh yang pernah Ayah lakukan, Ayah tiba
di perkampungan para sufi. Kau tahu apa itu sufi ? Sufi adalah
orang-orang yang tidak mencintai dunia dan seisinya. Mereka lebih sibuk
memikirkan hal lain. memikirkan filsafat hidup, makna kehidupan, dan
prinsip-prinsip hidup yang agung. Ayah tahu, di antara banyak sufi,
tidak semuanya berhasil mencapai pemahaman yang sempurna tentang
kehidupan. Ada yang baru tertatih belajar tentang kenapa kita harus
hidup. Ada yang sudah mencapai pemahaman apa tujuan dan makna hidup, ada
pula yang telah berhasil melakukan perjalanan spiritual hingga memahami
hakikat sejati kebahagiaan hidup.
“Itu pertanyaan terpenting Ayah. Apa hakikat sejati kebahagiaan hidup
? Apa definisi kebahagiaan ? Kenapa tiba-tiba kita merasa senang dengan
sebuah hadiah, kabar baik, atau keberuntungan ? Mengapa kita tiba-tiba
sebaliknya merasa sedih dengan sebuah kejadian, kehilangan, atau sekedar
kabar buruk ? Kenapa hidup kita seperti dikendalikan sebuah benda yang
disebut hati ? Tidak ada di antara sekelompok sufi itu yang bisa
memberikan penjelasan memuaskan. Mereka menggeleng, hingga akhirnya
salah seorang dari mereka menyarankan ayah berangkat ke salah satu
lereng gunung, Di sana tingal salah satu sufi besar, ribuan muridnya,
bijak orangnya, boleh jadi dia tahu jawabannya. Ayah bergegas mengemas
ransel, berangkat siang itu juga.
“Ayah menemui sang Guru. Dia menerima Ayah dengan ramah, memberi Ayah
kesempatan bertanya. Pertanyaan Ayah hanya satu, Dam. Apa hakikat
sejati kebahagiaan hidup ? Dengan memahaminya, seluruh kesedihan akan
menguap seperti embun terkena sinar matahari. Dengan memilikinya, setiap
hari kita bisa menghela napas bahagia. Sang Guru terdiam lama,
menggeleng, berkata bahwa Ayah memberikan pertanyaan yang dia tdak tahu,
tidak ada orang di dunia yang bisa menjawabnya. Ayah mendesha kecewa,
ke mana lagi harus mencari tahu. Sang Guru menatap Ayah lamat-lamat,
berpikir sejenak. Seberapa tangguh Ayah berusaha mencari tahu ? Ayah
berkata mantap, apa pun akan Ayah lakukan.
“Sang Guru tersenyum. Dia memberikan pekerjaan teraneh yang pernah
Ayah tahu. Seratus mil dari lereng gunung tempat dia bemrukim terdapat
tanah luas di tepi hutan. Ada perkampungan dekat hutan itu. Perkampungan
itu butuh sumber mata air berupa danau. Sang Guru menyuruh Ayah
membuatkan danau di tanah luas itu. Astaga, Dam, benar-benar sebuah
danau. Itu bukan pekerjaan mudah.” Ayah tertawa pelan, membuat napasnya
sedikit tersengal.
“Sang Guru bilang, ‘Ketika kau berhasil membuat sebuah danau indah
yang jernih bagai air mata, kau akan mendapatkan jawaban hakiki sejati
kebahagiaan. Berangkatlah, setahun kemudian aku akan datang. Aku akan
melihat apakah danau itu sudah sebening air mata’.
“Walau tidak punya ide apa pun soal danau itu, ayah angguk mantap.
Ayah sudah mendugam definisi kebahagiaan sejati seharga pengorbanan
besar. Itu pencapaian paling tinggi seorang sufi, dan sepertinya tidak
bisa diperoleh hanya dengan membaca bku atau bertanya. Ayah berangkat,
memulai pekerjaan besar itu, membuat danau yang cukup untuk satu
kampung.
“Kau tahu, Dam, tidak berbilang tanah yang harus Ayah pindahkan.
Berkubang licak setiap hari, mulai bekerja saat matahari terbit, baru
berhenti ketika matahari tengelam. Ayah baru berhenti saat galian itu
memiliki kedalaman tiga meter, luasnya sebesar lapangan bola. Pekerjaan
Ayah baru separuh selesai. Ayah kemudian membuat parit-parit dari mata
air yang ada di hutan, mengalirkannya ke lubang danau. Setahun berlalu,
danau itu jadi. Ayah tersenyum senang. Tidak lama lagi jawaban
pertanyaan itu akan datang. Lihatlah, danau yang Ayah buat sebening air
mata.
” Sesuai janji, sang Guru dayang menjenguk Ayah pada hari yang
ditentukan. Sialnya, malam itu sebelum dia datang, hujan turun. Sumber
mata air di hutan menjadi kotor. Ayah yang semangat mengajak sang Guru
ke tepi dana menjadi kecewa. Lihat, danau yang Ayah buat jauh dari
bening, berubah keruh. Sang Guru menepuk bahu Ayah. Sang Guru berkata,
Ayah tidak boleh putus asa. Tahun depan sang Guru akan kembali.
“Setelah memikirkan jalan keluarnya, Ayah memutuskan membuat saringan
di setiap parit, agar air keruh dan kotor dari mata air ketika hujan
turun tetap bening saat tiba di danau. Ayah mengerjakannya dengan senang
hati. Ide ini akan berhasil. Ayah juga memperbaiki seluruh parit yang
bermuara ke danau, memastikan tidak ada sumbernya yang bermasalah.
Sedikit saja ada air keruh masuk, danau sekristal air mata langsung
tercemar.
“Setahun berlalu lagi., sang Guru datang menjenguk Ayah. Lihatlah,
danau buatan Ayah indah tiada terkira. Pantulan dedaunan di atas
pemrukaan danau seperti nyata. Ayah tersenyum, menunggu jawaban atas
pertanyaan Ayah. Sang Guru menggeleng. Dia meraih sepotong bambu
panjang, lantas menusuk-nusuk dasar danau. Ayah berseru, mencegahnya.
Itu akan membuat air danau keruh. Benar saja, lantai danau yang terbuat
dari tanah langsung mengeluarkan kepul lumpur kecoklatan. Dalam sekejap,
danau bening itu musnah. Sang Guru menepuk-nepuk bahu ayah lalu
berkata,”Kaupikirkan lagi, tahun depan aku akan kembali.”
Ayah diam sejenak. menarik napas pelan.
“Kau tahu, Dam. Ayah seperti dipermainkan. Apa lagi yang kurang dari
danau Ayah ? Dua tahun sia-sia. Baiklah, Ayah tahu apa yang harus Ayah
kerjakan. Ayah memutuskan menggali danau sedalam mungkin hingga
menyentuh dasar bebatuan, menyentuh mata airnya. Setahun berlalu, Ayah
masih berkutat menyingkirkan tanah-tanah, kedalaman danau sudah sepuluh
meter. Sang Guru datang, melihat dengan takzim Ayah yang sibuk bekerja.
Dua tahun berlalu, Ayah masih berkutat mengeduk tanah. Tiga tahun
berlalu, setelah kerja keras siang malam, akhirnya Ayah berhaisl
menyentuh dasar bebatuan. Air keluar deras dari sela-sela batunya. Ayah
tertawa senang. Semua parit Ayah tutup. Danau itu sempurna hanya
digenangi air dari mata airnya sendiri.
“Guru datang pada hari yang dijanjikan. Dia tertawa renyah melihat
danau yang bagai kristal air mata. Tetap bening meski ada yang
menusuk-nusuk dasarnya, tetap dengan cepat kembali bening mesti ada air
dari parit bocor dan sejenak membuat keruh. Sang Guru menatap Ayah,
bertanya apakah Ayah masih butuh penjelasan atas pertanyaan itu. Ayah
menggeleng. Hari itu Ayah sudah tahu jawabannya, Dam. Setelah lima tahun
bekerja keras, hanya untuk memahami sebuah kebijaksanaan hidup
sederhana, Ayah tahu jawabannya.
Kita tidak akan pernah merasakan kebahagiaan sejati dari kebahagiaan yang datang dari luar hati kita.
“Itulah hakikat sejari kebahagiaan hidup, Dam. Hakikat itu berasal
dari hati kau sendiri. Bagaimana kau membershkan dan melapangkan hari,
bertahun-tahun berlatih, bertahun-tahun belajar membuat hati lebih
lapang, lebih dalam, dan lebih bersih. Kita tidak akan pernah merasakan
kebahagiaan sejati dari kebahagiaan yang datang dari luar hati kita.
Hadiah mendadak, kabar baik, keberuntungan, harta benda yang datang,
pangkat, jabatan, semua itu tidak hakiki. Itu datang dari luar. Saat
semua itu hilang, dengan cepat hilang pula kebahagiaan. Sebaliknya rasa
sedih, kehilangan, kabar butuk, nasib buruk, itu semua juga datang dari
luar. Saat semua itu datang dan hati kau dangkal, hati kau seketika
keruh berkepanjangan.
“Berbeda halnya jika kau punya mata air sendiri di dalam hati. Mata
air dalam hati itu konkret, Dam. Amar terlihat. Mata air itu menjadi
sumber kebahagiaan tidak terkira. Bahkan ketika musuh kau mendapatkan
kesenangan, keberuntungan, kau bisa ikut senang atas kabar baiknya, ikut
berbahagia, karena hati kau lapang dan dalam. Sementara orang-orang
yang hatinya dangkal, sempit, tidak terlatih, bahkan ketika sahabat
baiknya mendapatkan nasib baik, dia dengan segera iri hati dan gelisah
Padahal apa susahnya ikut senang,
“Itulah hakikat sejati kebahagiaan, Dam. Ketika kau bisa membuat hati
bagai danau dalam dengan sumber mata air sebening air mata.
Memperolehnya tidak mudah, kau harus terbiasa dengan kehidupan
bersahaja, sederhana, dan apa adanya. Kau harus bekerja keras,
sungguh-sungguh, dan atas pilihan sendiri memaksa hati kau berlatih.
Dikutip dari novel Ayahku (Bukan) Pembohong karya Tere-Liye