Blogger Widgets UD. SUKSES BERSAMA: Januari 2014

UD. SUKSES BERSAMA

Selasa, 21 Januari 2014

Danau Para Sufi : Apakah Arti Kebahagiaan Sejati

(sebuah kado terbaik di ulthku ditahun kmrn dari seorang sahabat.... syukron Faiz)


Danau Para Sufi










Danau Para Sufi











 Danau Para Sufi

” Ayah akan bercerita. Maukah kau mendengarnya ? Ayah janji ini cerita terakhir “
Aku mengangguk

Ayah menarik napas dalam-dalam, memperbaiki posisi baringnya. ” Kau pasti selalu bertanya-tanya, apakah ibu kau bahagia ? Ayah akan ceritakan apakah ibu kau sesungguhnya bahagia atau tidak.



” Dalam salah satu perjalanan jauh yang pernah Ayah lakukan, Ayah tiba di perkampungan para sufi. Kau tahu apa itu sufi ? Sufi adalah orang-orang yang tidak mencintai dunia dan seisinya. Mereka lebih sibuk memikirkan hal lain. memikirkan filsafat hidup, makna kehidupan, dan prinsip-prinsip hidup yang agung. Ayah tahu, di antara banyak sufi, tidak semuanya berhasil mencapai pemahaman yang sempurna tentang kehidupan. Ada yang baru tertatih belajar tentang kenapa kita harus hidup. Ada yang sudah mencapai pemahaman apa tujuan dan makna hidup, ada pula yang telah berhasil melakukan perjalanan spiritual hingga memahami hakikat sejati kebahagiaan hidup.

“Itu pertanyaan terpenting Ayah. Apa hakikat sejati kebahagiaan hidup ? Apa definisi kebahagiaan ? Kenapa tiba-tiba kita merasa senang dengan sebuah hadiah, kabar baik, atau keberuntungan ? Mengapa kita tiba-tiba sebaliknya merasa sedih dengan sebuah kejadian, kehilangan, atau sekedar kabar buruk ? Kenapa hidup kita seperti dikendalikan sebuah benda yang disebut hati ? Tidak ada di antara sekelompok sufi itu yang bisa memberikan penjelasan memuaskan. Mereka menggeleng, hingga akhirnya salah seorang dari mereka menyarankan ayah berangkat ke salah satu lereng gunung, Di sana tingal salah satu  sufi besar, ribuan muridnya, bijak orangnya, boleh jadi dia tahu jawabannya. Ayah bergegas mengemas ransel, berangkat siang itu juga.

“Ayah menemui sang Guru. Dia menerima Ayah dengan ramah, memberi Ayah kesempatan bertanya. Pertanyaan Ayah hanya satu, Dam. Apa hakikat sejati kebahagiaan hidup ? Dengan memahaminya, seluruh kesedihan akan menguap seperti embun terkena sinar matahari. Dengan memilikinya, setiap hari kita bisa menghela napas bahagia. Sang Guru terdiam lama, menggeleng, berkata bahwa Ayah memberikan pertanyaan yang dia tdak tahu, tidak ada orang di dunia yang bisa menjawabnya. Ayah mendesha kecewa, ke mana lagi harus mencari tahu. Sang Guru menatap Ayah lamat-lamat, berpikir sejenak. Seberapa tangguh Ayah berusaha mencari tahu ? Ayah berkata mantap, apa pun akan Ayah lakukan.

“Sang Guru tersenyum. Dia memberikan pekerjaan teraneh yang pernah Ayah tahu. Seratus mil dari lereng gunung tempat dia bemrukim terdapat tanah luas di tepi hutan. Ada perkampungan dekat hutan itu. Perkampungan itu butuh sumber mata air berupa danau. Sang Guru menyuruh Ayah membuatkan danau di tanah luas itu. Astaga, Dam, benar-benar sebuah danau. Itu bukan pekerjaan mudah.” Ayah tertawa pelan, membuat napasnya sedikit tersengal.

“Sang Guru bilang, ‘Ketika kau berhasil membuat sebuah danau indah yang jernih bagai air mata, kau akan mendapatkan jawaban hakiki sejati kebahagiaan. Berangkatlah, setahun kemudian aku akan datang. Aku akan melihat apakah danau itu sudah sebening air mata’.

“Walau tidak punya ide apa pun soal danau itu, ayah angguk mantap. Ayah sudah mendugam definisi kebahagiaan sejati seharga pengorbanan besar. Itu pencapaian paling tinggi seorang sufi, dan sepertinya tidak bisa diperoleh hanya dengan membaca bku atau bertanya. Ayah berangkat, memulai pekerjaan besar itu, membuat danau yang cukup untuk satu kampung.

“Kau tahu, Dam, tidak berbilang tanah yang harus Ayah pindahkan. Berkubang licak setiap hari, mulai bekerja saat matahari terbit, baru berhenti ketika matahari tengelam. Ayah baru berhenti saat galian itu memiliki kedalaman tiga meter, luasnya sebesar lapangan bola. Pekerjaan Ayah baru separuh selesai. Ayah kemudian membuat parit-parit dari mata air yang ada di hutan, mengalirkannya ke lubang danau. Setahun berlalu, danau itu jadi. Ayah tersenyum senang. Tidak lama lagi jawaban pertanyaan itu akan datang. Lihatlah, danau yang Ayah buat sebening air mata.

” Sesuai janji, sang Guru dayang menjenguk Ayah pada hari yang ditentukan. Sialnya, malam itu sebelum dia datang, hujan turun. Sumber mata air di hutan menjadi kotor. Ayah yang semangat mengajak sang Guru ke tepi dana menjadi kecewa. Lihat, danau yang Ayah buat jauh dari bening, berubah keruh. Sang Guru menepuk bahu Ayah. Sang Guru berkata, Ayah tidak boleh putus asa. Tahun depan sang Guru akan kembali.

“Setelah memikirkan jalan keluarnya, Ayah memutuskan membuat saringan di setiap parit, agar air keruh dan kotor dari mata air ketika hujan turun tetap bening saat tiba di danau. Ayah mengerjakannya dengan senang hati. Ide ini akan berhasil. Ayah juga memperbaiki seluruh parit yang bermuara ke danau, memastikan tidak ada sumbernya yang bermasalah. Sedikit saja ada air keruh masuk, danau sekristal air mata langsung tercemar.

“Setahun berlalu lagi., sang Guru datang menjenguk Ayah. Lihatlah, danau buatan Ayah indah tiada terkira. Pantulan dedaunan di atas pemrukaan danau seperti nyata. Ayah tersenyum, menunggu jawaban atas pertanyaan Ayah. Sang Guru menggeleng. Dia meraih sepotong bambu panjang, lantas menusuk-nusuk dasar danau. Ayah berseru, mencegahnya. Itu akan membuat air danau keruh. Benar saja, lantai danau yang terbuat dari tanah langsung mengeluarkan kepul lumpur kecoklatan. Dalam sekejap, danau bening itu musnah. Sang Guru menepuk-nepuk bahu ayah lalu berkata,”Kaupikirkan lagi, tahun depan aku akan kembali.”

Ayah diam sejenak. menarik napas pelan.

“Kau tahu, Dam. Ayah seperti dipermainkan. Apa lagi yang kurang dari danau Ayah ? Dua tahun sia-sia. Baiklah, Ayah tahu apa yang harus Ayah kerjakan. Ayah memutuskan menggali danau sedalam mungkin hingga menyentuh dasar bebatuan, menyentuh mata airnya. Setahun berlalu, Ayah masih berkutat menyingkirkan tanah-tanah, kedalaman danau sudah sepuluh meter. Sang Guru datang, melihat dengan takzim Ayah yang sibuk bekerja. Dua tahun berlalu, Ayah masih berkutat mengeduk tanah. Tiga tahun berlalu, setelah kerja keras siang malam, akhirnya Ayah berhaisl menyentuh dasar bebatuan. Air keluar deras dari sela-sela batunya. Ayah tertawa senang. Semua parit Ayah tutup. Danau itu sempurna hanya digenangi air dari mata airnya sendiri.
Danau Para Sufi


“Guru datang pada hari yang dijanjikan. Dia tertawa renyah melihat danau yang bagai kristal air mata. Tetap bening meski ada yang menusuk-nusuk dasarnya, tetap dengan cepat kembali bening mesti ada air dari parit bocor dan sejenak membuat keruh. Sang Guru menatap Ayah, bertanya apakah Ayah masih butuh penjelasan atas pertanyaan itu. Ayah menggeleng. Hari itu Ayah sudah tahu jawabannya, Dam. Setelah lima tahun bekerja keras, hanya untuk memahami sebuah kebijaksanaan hidup sederhana, Ayah tahu jawabannya.
Kita tidak akan pernah merasakan kebahagiaan sejati dari kebahagiaan yang datang dari luar hati kita.
“Itulah hakikat sejari kebahagiaan hidup, Dam. Hakikat itu berasal dari hati kau sendiri. Bagaimana kau membershkan dan melapangkan hari, bertahun-tahun berlatih, bertahun-tahun belajar membuat hati lebih lapang, lebih dalam, dan lebih bersih. Kita tidak akan pernah merasakan kebahagiaan sejati dari kebahagiaan yang datang dari luar hati kita. Hadiah mendadak, kabar baik, keberuntungan, harta benda yang datang, pangkat, jabatan, semua itu tidak hakiki. Itu datang dari luar. Saat semua itu hilang, dengan cepat hilang pula kebahagiaan. Sebaliknya rasa sedih, kehilangan, kabar butuk, nasib buruk, itu semua juga datang dari luar. Saat semua itu datang dan hati kau dangkal, hati kau seketika keruh berkepanjangan.

“Berbeda halnya jika kau punya mata air sendiri di dalam hati. Mata air dalam hati itu konkret, Dam. Amar terlihat. Mata air itu menjadi sumber kebahagiaan tidak terkira. Bahkan ketika musuh kau mendapatkan kesenangan, keberuntungan, kau bisa ikut senang atas kabar baiknya, ikut berbahagia, karena hati kau lapang dan dalam. Sementara orang-orang yang hatinya dangkal, sempit, tidak terlatih, bahkan ketika sahabat baiknya mendapatkan nasib baik, dia dengan segera iri hati dan gelisah Padahal apa susahnya ikut senang,

“Itulah hakikat sejati kebahagiaan, Dam. Ketika kau bisa membuat hati bagai danau dalam dengan sumber mata air sebening air mata. Memperolehnya tidak mudah, kau harus terbiasa dengan kehidupan bersahaja, sederhana, dan apa adanya. Kau harus bekerja keras, sungguh-sungguh, dan atas pilihan sendiri memaksa hati kau berlatih.

Dikutip dari novel Ayahku (Bukan) Pembohong karya Tere-Liye


Jumat, 03 Januari 2014

NAMA

 4 Jan, SUKSES BERSAMA   
       Ia disebut-sebut sebagai ahadu masyayikhi khurusan, atau salahsatu guru besar di daerah khurusan (sebuah kawasan disebelah utara Persia).
       Suatu hari,seorang perempuan menghadap kepadanya, hendak meminta pertimbangan ihwal persoalan yang  sedang ia hadapi. Belum satu pun unek-uneknya ia keluarka, barangkali baru pada tahap memohon atau memperkenalkan diri, di tengah keheningan itu keheningan yang biasa hinggap saat seorang murid berhadapan dengan wibawa gurunya sayup-sayup terdengar suara. Suara yang membuat merah muka si perempuan. Ya, ia mohon maaf- kentut. Bisa Anda bayangkan, betapa tak karuannya perasaan sang perempuan; dihadapan orang yang amat Anda hormati, eh, tiba-tiba saja angin itu mendesak.
       Melihat gelagat perempuan yang didera rasa malu atas dirinya sendiri itu, sang Syaikh tidak malah tertawa. Kita tahu,sang Syaikh bukan tak mendengar suara kentut si perempuan, akan tetapi beliau mengambil sikap. ia lantas mendesakkan seruan,"Apa? Apa tadi yang kamu bicarakan? Keraskanlah sedikit suaramu itu."
       Mendengar seruan sang syaikh yang seolah tak mendengar suaranya itu, si perempuan tampak lega. Ia berpikir, Wah, Syaikh pasti tak mendengar suara kentutku tadi." Maka perempuan itu pun selanjutnya mampu dengan lancar mengutarakan hajatnya tanpa disertai perasaan malu sedikit pun.
       Syaikh itu bernama Hatim, waliyullah yang juga murid dari seorang Waliyullah bernama Syaqiq al-Balkhi.setelah kejadian itu, dan barangkali setelah si perempuan menceritakan kepada khalayak bahwa ternyata pendengaran sang Syaikh tak terlalu baik (shamam), khalayak pun kemudian menjuluki Hatim dengan sebutan "si tuli" atau "si bolot" atau "si budeg". Sampai kini bahkan kita mengenal Hatim sebagai orang tuli. Ya, Hatim al-Asham (Hatim si Tuli).
       Bayangkan, seorang berilmu, termasyur pula, merelakan dirinya untuk dijuliki dengan panggilan rendahan hanya karena menjaga perasaan orang lain. Adakah orang seperti ini pada zaman akhir ini?Kita semua barang kali menjawab, "Negatif" . Sebab yang sebaliknyalah justru yang banyak; orang sama risau saat nama baiknya tercemar, saat ego dan keakuannya terusik. Banyak orang yang marah karena direndahkan reputasinya; lha wong gelarnya ditulis keliru saja sudah cemberut kok!!!Belum lagi jika kita melihat kelakuan banyak orang yang suka mengaku-ngaku reputasi orang lain sebagai miliknya. Tengoklah
celetukan ini, misalnya,"itu lho, kiai anu atau bupati itu,  dulu kawan sebangku aku." Liriklah juga, di musim jor-joran spanduk dan banner kampanye politik seperti hari-hari ini, gambar-gambar tokoh nasional di pajang untuk menjustifikasi kemampuan seseorang yang tidak atau belum tampak wujudnya.
       Ah, betapa sulitnya mencari nama baik. Padahal mengacu Hatim, apa sih sebetulnya nama baik itu? Apakah nama baik itu adalah sebutan lain daari egoisme dan atau keakuan yang terlalu membuncah sehingga bahkan tak sadari oleh pemiliknya? Bisa iya, atau Tidak. kita sendirilah sebetulnya yang bisa menjawabnya.
        Wallahua'lam bis shawab. * * * 
sumber: BULETIN
www.masjidagungpalembang.or.id